Artikel 10 Tahun ICRS (Celebrate Diversity)


MEDIA SOSIAL: TEKNOLOGI DENGAN DUA SISI BERLAINAN

Memasuki abad 21 manusia makin dipermudah dalam memperoleh informasi, terutama berbagai peristiwa di sudut-sudut kota maupun belahan dunia lain dalam hitungan detik melalui internet sebagai salah satu hasil perkembangan teknologi. Meskipun media cetak masih tetap memegang peranan penting dalam menyampaikan informasi dan berita dengan jangkauan luas, kini perannya ‘sedikit’ tergeser oleh adanya internet ini.
Pemanfaatan searching internet menjadikan Google, Yahoo, Ask, dan mesin pencari lainnya sebagai media favorit dalam memperoleh informasi. Namun tidak semua orang mengetahui berita secara langsung dengan memanfaatkan mesin pencari tersebut, melainkan diperoleh dari media sosial yang aktif diikuti. Ketika beberapa orang membaca satu berita fenomenal atau insidental lalu menyebarkannya di media sosial, maka dalam hitungan detik informasi tersebut dapat diketahui oleh lebih banyak orang, tentunya yang memang aktif juga dalam bersosial media.
Menurut informasi yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informasi, pengguna internet di Indonesia telah mencapai 82 juta orang sehingga menduduki peringkat ke-8 dunia serta peringkat ke-4 besar dunia sebagai pengguna media sosial facebook.[1] Pencapaian yang cukup tinggi dari data tersebut menunjukkan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap layanan yang diberikan media sosial buatan pemuda asal New York bernama Mark Elliot Zuckerberg ini.
Satu hal yang disadari saat menyaksikan banyak kejadian di berbagai daerah di Indonesia, yaitu bahwa begitu beragamnya Indonesia. Bahkan dengan 742 jenis bahasa di Indonesia,[2] masyarakatnya mampu berkomunikasi satu sama lain dengan Bahasa Indonesia. Keberagaman ini tidak hanya menyangkut bahasa, tapi juga selalu dikaitkan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pluralitas merupakan satu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh negara manapun di dunia, bahkan oleh negara terkecil dengan keberagaman minim sekalipun. Apalagi negara kepulauan Indonesia yang daratannya dipisahkan oleh lautan, selat, dan sungai. Melihat kondisi dan letak geografis dari negara yang juga mendapat sebutan Negara Seribu Budaya ini, pluralitas tentu merupakan sebuah keniscayaan. Karena selain 742 bahasa, Indonesia juga terdiri dari 34 provinsi, 17.504 pulau, 1.340 suku[3], serta keberagaman lainnya, tidak dapat dipungkiri bagi Indonesia untuk memiliki perbedaan pemikiran.
Keberagaman memang indah, seperti halnya pelangi dengan berbagai warnanya yang memesona. Namun keberagaman ini dalam kondisi tertentu terkadang menimbulkan singgungan-singgungan halus hingga yang lebih besar, yaitu bentrokan yeng selanjutnya memicu konflik. Jika dua orang yang terlahir kembar identik saja tidak selalu memiliki perilaku, pemikiran, dan pendapat yang sama dalam menyikapi suatu masalah, maka itu pula yang terjadi dalam tingkat organisasi kehidupan yang lebih besar, yaitu keluarga, desa, kota, kabupaten, provinsi, nasional, hingga masyarakat internasional.
Keberagaman yang memang tidak dapat dihindari ini sudah seharusnya disikapi dengan bijak, yaitu dengan tidak menganggapnya sebagai penghalang persatuan bangsa. Beribu ide dan pemikiran dari ratusan juta otak manusia, bisa dipadupadankan dalam sebuah musyawarah. Karena tidak menutup kemungkinan untuk mencapai mufakat jika tiap pihak mau mengalah, tidak mengedepankan ego agar pendapatnya yang diterima sebagai sebuah kebijakan. Karena sebuah kebijakan yang baik lahir dari orang-orang bijak yang lebih mengedepankan persatuan dan perdamaian daripada konflik.
Di zaman penjajahan Belanda dan Jepang dulu, perjuangan dilakukan di banyak titik. Baik itu pegunungan, bukit, sungai, maupun pengungsian. Para pahlawan berjuang untuk tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan. Semangat persatuan itulah yang perlu dipupuk dan ditumbuhkembangkan hingga akhir kehidupan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang toleran.
Kembali pada peranan media sosial dengan dua sisi manfaat yang berlainannya. Sudah seharusnya menjadikan media sosial yang merupakan hasil dari kemajuan teknologi ini sebuah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Teknologi yang memang dikembangkan untuk mempermudah urusan manusia, termasuk di dalamnya pengetahuan dan pemahaman keberagaman di Indonesia yang tidak perlu dikhawatirkan dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang.
Seperti halnya pisau, yang jika berada di tangan yang tepat seperti koki atau seorang ibu yang biasanya digunakan untuk memasak, maka akan menghasilkan masakan yang enak. Namun sebaliknya, jika berada di tangan yang salah, misalnya dipegang oleh anak-anak atau penjahat, maka bisa melukai diri sendiri dan orang lain. Hal ini berlaku pula bagi media sosial yang selain digunakan sebagai media eksistensi diri, juga dijadikan media informasi. Informasi akurat yang diperoleh dari sumber berita formal bisa di-share ulang, tentu dengan disertai opini dari pen-share.
Menyampaikan berita dan fakta secara aktual itu penting, meski tidak semua pembacanya merespon positif terhadap berita tersebut. Respon pro dan kontra sudah biasa dalam dunia informasi. Bahkan karya yang bagus pun tidak luput dari kritikan pembacanya. Yang perlu dilakukan adalah dengan tetap melakukan segala sesuatunya dengan niat baik hingga suatu saat, orang-orang yang membacanya bisa mengetahui isi hati dan niatan baik itu dalam tiap tulisan kita.
Kasus diskriminasi berlatar belakang agama menimpa minoritas Muslim di Myanmar, Uighur (Cina), dan Syria. Informasi dari beberapa situs website kantor berita yang di-share di facebook ini mendapat berbagai macam tanggapan dan komentar dari netizen. Dari kalimat yang mengandung kecaman, empati, celetukan, hingga sindiran terhadap para penista agama. Jika ada komentar yang berlawanan dari kebanyakan, maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan ‘debat kusir’ berkepanjangan antara dua kubu.
Perdebatan tersebut tidak akan membawa perubahan apapun dalam menyelesaikan sebuah konflik. Perlu aksi nyata dalam mewujudkan perdamaian antaragama. Akan lebih baik jika netizen pun berusaha mencari solusi, karena tanggungjawab dalam mewujudkan perdamaian ini tidak hanya menjadi tanggungjawab anggota polisi, TNI, atau PBB, tapi seluruh masyarakat dunia. Hal termudah namun terlihat sepele yang dapat dilakukan netizen adalah dengan sering share atau meng-upload tulisan yang merujuk pada perdamaian dengan disertai tagar (hash tag) #damaiituindah, #saveworld, #semuamanusiabersaudara atau semacamnya.
Sertakan hash tag perdamaian dalam status media sosial (Sumber: www.tintup.com)
Keberadaan media sosial tidak hanya berfungsi sebagai media pencari informasi ter-update dan ajang penyaluran eksistensi seseorang, tapi juga mampu mendatangkan profit dengan menciptakan peluang usaha di dalamnya. Usaha yang tidak hanya melibatkan satu agama, satu bahasa, atau satu golongan dan ras tertentu, tapi universal. Hal itu merupakan sisi lain dari manfaat media sosial.
Media sosial, tanpa melihat siapa penggunanya, cenderung membawa manfaat sebagai media penyampai informasi. Jika selanjutnya mengarah pada keburukan daripada manfaat, itu tergantung pada mereka yang akan memilih untuk memanfaatkannya atau justru menyalahgunakannya. Satu hal yang perlu ditanamkan dalam diri individu yang hidupnya saling membutuhkan satu sama lain. Yaitu keberagaman dan pluralitas adalah suatu hal yang pasti, dan toleran adalah respon terbaik dalam menyikapinya.

#celebratediversity
#10tahunicrs

Catatan:
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa

Sumber: http://icrs.ugm.ac.id/10years



[1] https://kominfo.go.id/berita_satker
[2] http://pelitaku.sabda.org/ada_apa_dengan_sastra_nusantara
[3] https://id.answers.yahoo.com

Komentar

Posting Komentar